“Nilai sewa alat ditentukan melalui musyawarah kelompok tani. Pemerintah tidak lagi memberikan bantuan operasional atau perawatan terhadap Alsintan yang sudah diserahkan,” jelas Sunarno.
“Namun kami akan mengumpulkan pengurus Kelten, Brigade Pangan, dan UPJA untuk rapat di Desa Simpang Datuk. Insya Allah bisa dijadwalkan minggu depan,” tambahnya.
Meski demikian, sejumlah pihak menduga ada penyimpangan dalam pemanfaatan Alsintan bantuan tersebut. Alat yang seharusnya mendorong efisiensi dan produktivitas petani justru disinyalir menjadi sumber keuntungan bagi pihak tertentu.
Seorang ketua kelompok tani yang enggan disebutkan namanya memaparkan bahwa biaya operasional sejatinya tidak setinggi itu. “Gaji operator sekitar Rp 150.000 per hektare, BBM 20 liter per hektare, satu unit jonder bisa menggarap empat hektare per hari. Jadi kalau tarifnya Rp 800.000 per hektare, masih ada selisih keuntungan sekitar Rp 400.000 per hektare,” ungkapnya.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Brigade Alsintan maupun UPJA Desa Simpang Datuk.
Warga berharap pemerintah turun tangan menertibkan sistem sewa alat bantu pertanian, agar tujuan utama peningkatan kesejahteraan petani benar-benar tercapai.***
Salaming