CFD menghadirkan wajah baru kota – ruang publik yang sehat, aman, ramah lingkungan, dan memperkuat ikatan sosial masyarakat.
OPINI – Bayangkan sejenak suasana jalan protokol Muara Tebo di Minggu pagi. Tanpa deru mesin kendaraan, tanpa klakson yang memekakkan telinga, udara pun terasa lebih segar dari biasanya. Di sepanjang jalan, anak-anak bersepeda riang, orang tua berjalan santai, komunitas olahraga berbaur dalam senam bersama, sementara pedagang kecil menjajakan aneka jajanan lokal. Inilah wajah baru kota kita—wajah Muara Tebo saat Car Free Day (CFD).
CFD bukan sekadar penutupan jalan dari kendaraan bermotor. Lebih dari itu, ia adalah ruang sosial baru yang memungkinkan warga saling berinteraksi, berolahraga, sekaligus menikmati kota tanpa polusi. Bagi masyarakat di kota kecil seperti Muara Tebo, momen seperti ini menjadi kebutuhan penting: ruang publik yang aman, nyaman, dan inklusif, tempat memperkuat ikatan sosial serta menumbuhkan rasa memiliki terhadap kota.
Tak bisa dipungkiri, manfaat CFD sangat terasa. Dari sisi kesehatan, warga mendapat kesempatan untuk bergerak lebih bebas. Dari sisi sosial, kegiatan ini menghadirkan ruang kebersamaan. Bahkan dari sisi ekonomi, CFD menjadi panggung bagi UMKM, pedagang kaki lima, hingga seniman jalanan untuk menunjukkan karya dan produk mereka. Jika dikelola dengan kreatif, CFD dapat pula menjadi ajang promosi budaya lokal—dengan kuliner khas, kerajinan, hingga pertunjukan seni tradisional.
Namun, sejatinya CFD tidak datang tanpa tantangan. Pengalihan arus lalu lintas kerap memicu kemacetan di jalur alternatif. Persoalan kebersihan juga kerap muncul, di mana jalanan yang bersih berubah menjadi lautan sampah plastik setelah kegiatan usai. Lebih jauh, konsistensi penyelenggaraan harus dijaga. Tanpa komitmen pemerintah daerah dan partisipasi aktif masyarakat, CFD berisiko kehilangan makna dan hanya sekadar menjadi agenda seremonial.




